Saat ini Lira sudah tinggal sendiri. Ia mengingat saat menyaksikan ibunya menikah lagi dengan pria lain. Ia masih tidak menyangka jika hari itu benar benar tiba. Dan tak terasa air matanya menetes sangat deras. Inilah kebiasaan buruknya. Ia merupakan orang yang overthinking. Dimana ia terus menerus memikirkan sesuatu dari yang sangat tidak penting sampai ke hal yang sangat penting. Ia sering memikirkan kemungkinan terburuk dalam hidupnya. Ia tersiksa, sangat tersiksa. Tapi apalah daya, ia sudah berusaha untuk mencoba lepas dari gangguan tersebut namun tidak berhasil.
Nafasnya sesak. Matanya sayu dan bengkak akibat terlalu lama menangis. Kepalanya terasa sangat sakit. Memori menyedihkan terus menerus berputar dikepalanya. Hingga ia tertidur tanpa sadar.
Keesokan harinya...
"Lir? Kamu abis nangis? Mata kamu bengkak banget." Wanda.
"Engga kok. Aku kesiangan bangun, jadi begini deh. Hehe." Lira.
"Serius? Sosmed kamu udah off dari abis isya loh. Yakin kamu kesiangan?" Auri.
"Kuota internet aku abis Ri. Bener kok aku emang kesiangan." Lira.
"Kalo ada apa-apa, cerita aja Lir. Kan ada kita. Siapa tau bisa menghibur kamu dan mengurangi beban kamu." Diana.
"Iya. Makasih ya kalian." Lira berusaha tersenyum.
"Eh Nda? Ajeng ga masuk?" Auri.
"Gatau tuh dia. Katanya sakit abis upacara kemaren." Wanda.
"Dih masa iya si? Sakit apa kesiangan tuh anak. Hahaha." Diana.
Pelajaran sekolah pun dimulai seperti biasa. Lira dan sahabatnya menikmati kebersamaan mereka disekolah. Dan tiba waktunya pulang sekolah.
"Kamu pulang sama siapa Lir?" Diana.
"Mungkin cari barengan lain." Lira.
"Yah maaf ya Lir. Motorku lagi dibengkel. Biasa ngambek gitu deh." Wanda.
"Iya Nda gapapa kok." Lira.
"Ayo deh aku anterin pulang." Diana.
"Serius? Gapapa nih?" Lira.
"Iyaa gapapa. Tapi kamu yang bawa motornya yaa." Diana.
"Okee." Lira.
"Auri udah pulang duluan ya?" Wanda.
"Iya dijemput bapaknya tadi. Kamu pulang sama siapa Nda?" Lira.
"Aku udah minta jemput juga sama bapak. Tenang ajaa." Wanda.
"Okee aku sama Diana duluan yaa." Lira.
"Oke dadaaah. Ati-atii." Wanda.
.
.
.
.
.
Malam pun tiba. Lira merasa sangat kesepian sebab tak ada siapapun yang menemaninya. Semua pekerjaan rumah harus dikerjakan sendiri. Dan untuk masalah makan, ia membeli lauk matang. Terkadang saat hari libur ia memasak sendiri.
Saat ia sedang membereskan buku, handphonenya berbunyi.
-Harry-
Pesan telah diterima
Begitu tulisan di notifikasi.
Buru-buru Lira membuka pesan tersebut.
Percakapan Lira dan Harry via sosmed.
"Eh muka udah jelek jangan dijelek-jelekin dong." Harry.
"Dih apasi maksudnya?" Lira.
"Itu tadi disekolah. Mukanya lesu banget. Kaya ganiat idup. Hahahahah." Harry.
"Dasar nyebelin. Emang kamu ganteng apa? Ngatain orang jelek." Lira.
"Lah ganteng banget dong. Hahaha." Harry.
"Ganteng dari ujung merauke. Udah ah lagi sibuk nih." Lira.
"Sibuk apatuh? Ohiya ada PR ga besok?" Harry.
"Beresin buku buat besok. Ada PR banyak." Lira.
"Waduh. PR apa? Perasaan gaada yang ngasih PR buat besok deh." Harry.
"Udah tau pake nanya." Lira.
"Suka-suka dong. Hahahahah." Harry.
"Dasar nyebelin. Anaknya siapa si kamu?" Lira.
"Anak orang dong. Hahaha." Harry.
"Ngeselin." Lira.
"Hehe maaf bercanda. Eh liat catetan ekonomi yang tadi dong. Aku belom selesai nulisnya." Harry.
"Oke sebentar ya." Lira.
....π³π³π³
Begitulah percakapan mereka. Namun Lira terhibur dengan kehadiran Harry. Ia bisa melupakan sejenak tentang apa yang ada dipikirannya. Tapi tetap saja, ia takut kalau suatu saat nanti ada rasa yang lebih diantara mereka. Semoga saja tidak. Begitu harapnya.
π³π³π³π³π³
Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Mereka semua kini baru saja naik ke kelas 11. Lira dan Harry semakin dekat. Namun pada hari itu...
"Lir. Kamu inget Chintya kan?" Tanya Wanda pada Lira saat mereka menyapu kelas. Kondisi kelas saat itu sepi. Semuanya sudah pulang. Mereka berdua harus piket terlebih dahulu.
"Ohh mantannya Harry. Iya inget kok. Kenapa?" Lira.
"Dia ngajakin CFD nih besok. Kamu mau ikut?" Wanda.
"Hah?!" Lira kaget.
"Hahahah. Biasa aja Lir. Dia udah tau kok kalo kamu deket sama Harry." Wanda.
"Eh tapi tetep aja Nda aku gaenak. Apalagi dia kan mantannya Harry." Lira.
"Gapapa kok. Udah yaa besok ikut. Ya ya yaaaa?" Wanda.
"Hmm. Yaudah deh." Lira.
"Aku nanti sama dia boncengan satu motor. Kamu sendiri gapapa kan?" Wanda.
"Gapapa Nda. Lagian kan aku udah dikasih motor sama Bapak." Lira.
"Okee. Udah yuk pulang. Udah selesai." Wanda.
Tibalah hari esok.
"Duhh. Sumpah gaenak banget rasanya. Nanti ada udang dibalik batu ga ya?" Batin Lira.
"Ihh mikir apasi Lir." Ucapnya lirih sambil menggelengkan kepala. Saat ini ia menunggu kedatangan Chintya dan Wanda dipinggir jalan.
"Liraaaa." Panggil Wanda dari kejauhan.
"Astaghfirullah. Kok aku degdegan ya liat mukanya Chintya yang katanya mirip sama aku." Gumam Lira. (Author : Apa apaansih pake dimiripin segala☹)
"Haii." Sapa Lira pada keduanya dengan canggung.
"Haii. Kamu Lira ya?" Chintya.
"Iyaa. Hehe. Kamu Chintya kan?" Lira. (Sumpah inituh awkward banget aslinya pas ketemuπ¬)
"Ayok langsung jalan aja." Wanda memecah situasi canggung tersebut.
Dan setelah tiba, mereka berlari kecil. (Jogging gt lah ya:v kan CFD)
"Beli minum yuk." Wanda.
"Beli dimana Nda?" Chintya.
"Itutuh ada yang jualan." Wanda.
"Ayo deh beli. Haus banget." Lira akhirnya bersuara setelah cukup lama terdiam karena suasanya yang canggung.
"Eh ketaman situ dong. Kita foto-foto." Chintya.
"Tapi sepi loh." Wanda.
"Gapapa. Yuk Lir ikut." Chintya.
"Emm iyadeh." Lira.
"Gausah canggung Lir. Santai ajaa hehe." Chintya.
"Ehh iyaa. Hehe." Lira tersenyum kikuk.
Chintya dan Wanda memang klop. Mereka memiliki beberapa kepribadian yang sama. Sehingga tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk akrab.
"Lira lagi deket sama Harry ya?" Tanya Chintya saat Lira sedang minum. Itu membuat Lira kaget dan tersedak.
"Ih Chintya. Nanyanya bikin kaget. Haha. Santai dong nanyanya. Kasian Lira tuh." Wanda.
"Kenapa aku mencium bau bau konspirasi ya?" Batin Lira.
"Ee-engga kok. Aku sama Harry temenan biasa aja. Hehe." Lira akhirnya menjawab pertanyaan Chintya dengan berbohong.
"Yee jangan boong Lir. Gapapa kok kalo kamu deket sama dia. Aku udah bukan siapa-siapanya lagi. Tenang aja." Chintya.
"Iya nih Lira boong." Wanda.
"Apasih Ndaa." Lira.
Lira terdiam setelah ditanya hal seperti itu. Ia merasa ada yang janggal dari mereka berdua. Namun ia mencoba menepis rasa itu.
.
.
.
.
.
π³π³π³π³π³π³
To Be Continue...
-AustlyπΌ
0 komentar :
Posting Komentar